Ahlan Wa Sahlan




Assalamu'alaikum, sahabat. Silahkan melihat - lihat !! Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wassalam.

Jumat, 20 November 2009

Top 6 Keys to Being a Successful Teacher

By Melissa Kelly, About.com

The most successful teachers share some common characteristics. Here are the top six keys to being a successful teacher. Every teacher can benefit from focusing on these important qualities. Success in teaching, as in most areas of life, depends almost entirely on your attitude and your approach.

1. Sense of Humor
A sense of humor can help you become a successful teacher. Your sense of humor can relieve tense classroom situations before they become disruptions. A sense of humor will also make class more enjoyable for your students and possibly make students look forward to attending and paying attention. Most importantly, a sense of humor will allow you to see the joy in life and make you a happier person as you progress through this sometimes stressful career.

2. A Positive Attitutude
A positive attitude is a great asset in life. You will be thrown many curve balls in life and especially in the teaching profession. A positive attitude will help you cope with these in the best way. For example, you may find out the first day of school that you are teaching Algebra 2 instead of Algebra 1. This would not be an ideal situation, but a teacher with the right attitude would try to focus on getting through the first day without negatively impacting the students.

3. High Expectations
An effective teacher must have high expectations. You should strive to raise the bar for your students. If you expect less effort you will receive less effort. You should work on an attitude that says that you know students can achieve to your level of expectations, thereby giving them a sense of confidence too. This is not to say that you should create unrealistic expectations. However, your expectations will be one of the key factors in helping students learn and achieve.

4. Consistency
In order to create a positive learning environment your students should know what to expect from you each day. You need to be consistent. This will create a safe learning environment for the students and they will be more likely to succeed. It is amazing that students can adapt to teachers throughout the day that range from strict to easy. However, they will dislike an environment in which the rules are constantly changing.

5. Fairness
Many people confuse fairness and consistency. A consistent teacher is the same person from day to day. A fair teacher treats students equally in the same situation. For example, students complain of unfairness when teachers treat one gender or group of students differently. It would be terribly unfair to go easier on the football players in a class than on the cheerleaders. Students pick up on this so quickly, so be careful of being labelled unfair.

6. Flexibility
One of the tenets of teaching should be that everything is in a constant state of change. Interruptions and disruptions are the norm and very few days are 'typical'. Therefore, a flexible attitude is important not only for your stress level but also for your students who expect you to be in charge and take control of any situation.

Sabtu, 14 November 2009

Menangani Tiks pada Anak

Menurut M. Ninik Handayani, S.Psi, TIKS itu adalah........

Aduuuh... jari tanganku kenapa ya??? Ilustrasi: Aria/dok.Mombi

Tiks adalah gerakan tubuh yang sekonyong-konyong, berulang-ulang, di mana otot-otot bergerak tanpa tujuan, tanpa sengaja, impulsif, dan terus menerus. Lazimnya, setelah kedipan mata, diikuti gerakan muka, leher, dan bahu mengalami Tiks.

Ada tiks otot dan ada tiks verbal. Tiks otot adalah gerakan. Tiks otot meliputi kerutan dahi, juluran lidah, batuk, sentakan kepala, mulut. Sementara, tiks verbal berupa suara yang diulang-ulang, kadang-kadan berupa pengulangan frase, misalnya "Eh, tahu, nggak?"

Rentan terhadap Anak Laki-Laki
Tiks lebih sering terjadi dalam kondisi tertekan dan lebih banyak diderita anak laki-laki. Biasanya tiks dimulai pada usia 4-12 tahun, dan paling sering terjadi di usia 7-9 tahun.

Penyebabnya antara lain: ketegangan, karakter orang tua yang pencemas, reaksi terhadap trauma, konflik yang tidak terselesaikan, serta sebab-sebab fisik.

Menangani Tiks
Berikut beberapa tips yang disampaikan M. Ninik Handayani, S.Psi., untuk menangani tiks pada anak.

1. Bantulah anak untuk mengekspresikan perasaannya dan membangun rasa percaya diri. Anak memerlukan figur yang dapat dipercayainya untuk membicarakan semua perasaan dan fantasinya tanpa ia harus merasa malu atau takut.

2. Ketegangan di dalam keluarga, seperti pertengkaran, peraturan yang kaku, sebisa mungkin dihindari. Akan jauh lebih baik bila orangtua menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dan mengatakan bahwa segala sesuatu akan dapat diatasi.

3. Ketika anak baru menunjukkan gejala awal tiks, jangan mengomel ataupun membentak. Reaksi berlebihan terhadap tiks justru akan meningkatkan ketegangan anak, sehingga semakin membiasakan tiks tersebut. Sebaliknya, berikanlah rasa aman, dan bangunlah rasa percaya dirinya.

4. Berilah anak hadiah kecil untuk waktu-waktu yang dilaluinya tanpa tiks. Untuk menghindarkan anak merasa malu dan marah, bicarakan dengan bersikap santai. Orangtua tidak perlu menuntut anak untuk melakukan sesuatu pun atas tiks-nya.

5. Latihlah anak mengatasi kecemasan. Caranya dengan menunjukkan bagaimana otot-otot betul-betul rileks. Mula-mula mintalah anak menegangkan otot lalu mengendurkannya perlahan-lahan, begitu seterusnya sampai ia merasa lemas dan semakin lama anak mampu mempertahankan keadaan ini. Mintalah ia untuk membayangkan sesuatu yang menyenangkannya untuk memudahkan timbulnya perasaan tenang.

6. Latihlah anak untuk menyadari dan mencatat frekuensi terjadinya tiks. Orangtua perlu menunjukkannya setiap kali tiks terjadi. Biasanya tiks akan berkurang atau bahkan menghilang dengan sendirinya.

7. Tiks dapat dihilangkan dengan cara melatih ‘munculnya’ tiks dengan sengaja dan kemudian sengaja pula menghentikannya. Lakukan sampai anak merasa lelah dan menganggap ini sebagai permainan. Lakukan minimal 3x seminggu, selama ½ jam.

8. Anak dilatih melakukan respons yang menyaingi kebiasaan tiksnya. Respons saingan ini harus membuat anak lebih menyadari kebiasaannya sekaligus menghalangi kebiasaan tersebut (tiks tidak dapat terjadi bila respons saingan dilakukan), serta dapat dipertahankan untuk jangka waktu tertentu dan tidak mengganggu aktivitas normalnya. Misalnya, untuk tiks menyentakkan kepala, atau dagu ditekankan dalam-dalam ke dada.

9. Mintalah ia untuk mengamati dirinya sendiri di depan cermin dan sengaja melakukan gerakan tiks tersebut. Ajaklah anak membayangkan dirinya sendiri dalam berbagai situasi di mana ia terlibat di dalamnya tanpa melakukan tiks.

10. Ajari anak untuk meminta bantuan pada orang lain. Ini penting untuk mengingatkannya bila ia melakukan tiks. Kerabat dan teman-teman anak perlu membantunya dan memberi pujian atas usahanya serta betapa ia tampak lebih menyenangkan tanpa tiks. (Giana Lenggawati/Mombi)

Kamis, 05 November 2009

Montessori untuk Mandiri

Michelle Obama tengah menyaksikan anak-anak bermain di LAMB (Foto: Zimbio.com)

Di antara berbagai metode pengajaran sekolah usia dini, montessori terbilang populer. Metode belajar karya Maria Montessori ini bertujuan melatih anak untuk mandiri. Orangtua yang mempunyai anak usia sekolah mungkin pernah mendengar istilah montessori.

Maklum, saat ini telah banyak sekolah anak usia dini, terutama di perkotaan, yang menerapkan metode ini. Namun ketika ditanya, tak banyak orangtua yang mengetahui tentang apa sih sebenarnya montessori itu?

Menurut Koordinator Pengembangan Kurikulum "Twinkle Star", Lely Tobing, filosofi dari montessori adalah untuk melatih anak menjadi mandiri. Di samping membaca dan menulis, anak belajar segala aspek kehidupan, seperti minat, alam, dan science.

"Metode ini menekankan pada pembelajaran individu dengan tujuan melatih anak menjadi independen. Selain itu, harus ada ketertarikan yang spontan pada saat anak mengerjakan segala sesuatu. Mereka juga menyebut 'jam belajar' dengan 'jam bekerja', jadi istilahnya adalah working, bukan studying," papar wanita yang biasa disapa Lely ini.

Di luar negeri seperti Selandia Baru dan Singapura, sekolah full montessori biasanya memiliki montessori hour yaitu sekitar 3,5 jam. Satu jam awal merupakan peak hour (jam puncak), di mana anak secara maksimal menyerap segala sesuatu yang dipelajarinya.

"Untuk metode belajar sebenarnya dikategorikan active learning karena anak belajar sesuai dengan kemampuan dan minat si anak sendiri. Biasanya guru akan membuatkan perencanaan yang bersifat individual untuk setiap anak. Jadi walaupun anak berada pada kelas yang sama, aktivitasnya bisa berbeda-beda," papar lulusan London Montessori Center ini.

Ciri lain dari sekolah montessori adalah banyaknya penggunaan alat permainan dan educational game yang terbagi dalam lima area montessori (biasanya disebut corner), yaitu area practical life untuk pembelajaran aktivitas sehari-hari, area sensorial, bahasa, matematika, dan budaya. Setiap alat punya tujuan langsung dan tidak langsung, tapi bisa distimulasi dengan alat-alat itu.

Pengajaran dilakukan melalui tahapan pengenalan (introduction), progres, hingga si anak benar-benar mampu (master). Itulah sebenarnya yang disebut real montessori report, yaitu berdasarkan bagaimana si anak mampu menguasai alat-alat bermain yang ada dalam kelas montessori.

Keunikan montessori, rapornya tidak menggunakan sistem ranking, seperti angka atau nilai A, B, dan C. Selain itu, anak-anak tidak dipicu kompetisinya, karena tidak ada nilai atau ranking. Sekolah yang murni montessori juga tidak mengenal sistem hukuman dan imbalan (reward and punishment).

Jadi, anak-anak dikembangkan sesuai dengan kemampuannya sendiri. Kalau si anak belum mampu, mereka akan dilatih terus dalam hal itu sampai benar-benar mampu.

"Inti pelajaran montessori adalah menjadikan anak mandiri. Bukan hanya dalam melakukan kegiatan sehari-hari, melainkan juga sebagai independent learner, anak yang mandiri dalam belajar," tandasnya.

Belajar Itu Harus Menyenangkan

Setiap individu itu berbeda, baik dalam hal minat maupun kemampuannya, dan perbedaan ini sangat dihargai di sekolah montessori. Metode montessori dalam pendidikan adalah sebuah model yang melayani kebutuhan anak-anak dari semua level, baik dalam hal kemampuan mental maupun fisik di mana mereka hidup dan belajar secara alamiah.

Pelaksanaan metode montessori selalu up-to-date dan dinamis. Observasi dan pembelajaran berlangsung secara kontinu dan spesifik untuk masing-masing anak. Untuk mengetahui karakter, kemampuan, dan minat anak, maka faktor penjiwaan sangat penting untuk dipahami dan diterapkan oleh seorang pengajar.

Pengajar di sekolah montessori harus sangat kreatif dalam menyampaikan konsep materi. Ini berkaitan dengan fungsinya sebagai pemandu yang harus mengetahui perkembangan masing-masing anak.

Montessori memiliki 3 dasar, yaitu observation (yang dilakukan melalui penjiwaan), private environment (5 area montessori), dan freedom to choose (kebebasan anak untuk memilih permainan).

Dalam metode montessori, pengetahuan tidak diajarkan satu arah, melainkan dengan respek dan konkret material sehingga anak merasakan itu seperti bukan pelajaran, melainkan permainan yang sebenarnya bersifat mendidik.(Koran SI/Koran SI/nsa)

Sabtu, 21 Februari 2009

Masing-masing Anak Perlu Pendekatan yang Berbeda

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

EQ Certified Trainer, SixSeconds Org, California

Setiap anak memang memerlukan pendekatan yang berbeda. Saya sering dengan berat hati harus mematahkan pernyataan orangtua yang mengatakan, ”saya memperlakukan semua anak saya sama, tidak saya beda-bedakan; cuma yang adik ini susah sekali diatur, saya jadi pusing.” Ada dua hal yang bisa terjadi dengan pernyataan seorang ayah tersebut:

1. Bisa tanpa sadar, sebenarnya orangtua mengarah kepada ’pilih kasih’.

Hal ini sering sekali disangkal oleh orangtua, tetapi sebenarnya ini lebih sering dan sangat sering terjadi. Bagaimanapun, walau anak kandung sendiri, tetapi orangtua tetaplah manusia biasa yang juga sering mudah terpengaruh oleh apa yang dilihatnya dan dirasakannya. Anak yang berparas lucu atau cantik atau ganteng, lebih mudah meluluhkan hati orangtua dibandingkan dengan anaknya yang lain yang terlihat biasa-biasa saja. Anak yang berparas lebih menarik sering mudah dimaafkan jika berbuat kesalahan dibandingkan dengan anak yang berparas kurang menarik. Selain paras, anak yang lebih pandai bersikap manis, lebih mudah membuat orangtua jatuh hati dibandingkan anak yang selalu membangkang. Beberapa pernyataan orangtua jujur yang pernah berkata kepada saya, ada yang berkata, ”yah! Itu memang benar, sebab yang kecil ini kan lama saya nanti, jadi waktu dia lahir, semua perhatian saya full ke dia, tapi bukankah harusnya kakak-kakaknya mengerti bahwa yang kecil ini butuh perhatian lebih?” atau ibu yang lain pernah berkata, ”habis adiknya ini kan terlalu suka cari perhatian, sedangkan kakaknya ini lebih kalem, jadi saya memang bisa lebih dekat dengan si kakak” lain-lain kasus ada juga seorang ayah lebih dekat dengan anak laki-lakinya, karena ia merasa sang anak itulah penerusnya, ada juga seorang ayah yang merasa lebih dekat dengan dengan anak perempuannya, karena merasa anak laki-lakinya terlalu brutal. Nah! Sebenarnya, masing-masing orangtua mempunyai preferensi terhadap anak-anak mereka hal ini lebih diperumit dengan kenyataan bahwa anak-anak mempunyai sifat karakter yang berbeda yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda pula. Atau,

2. Orangtua mempertahankan pola pikir untuk memberlakukan pendekatan yang sama.

Justru dengan memberlakukan pendekatan yang sama, pendekatan orangtua tersebut belum tentu cocok untuk anak yang mempunyai karakter yang berbeda. Jika sepasang orangtua adalah orangtua yang ’pendiam’, maka mereka akan menemukan kesulitan jika harus menerapkan prinsip diam mereka kepada anak yang berkarakter riang ataupun extrovert. Juga sebaliknya, jika sepasang orangtua adalah orangtua yang ’ramai’, maka anak yang introvert merasa terseret-seret jika dipaksakan harus berbicara. Belum lagi jika sepasang orangtua yang seorang pendiam dan yang seorang lagi ramai, anak-anak lebih sulit lagi terbentuk, karena jika ramai di hadapan orangtua pendiam, si anak dimarahi dan sebaliknya, jika diam di hadapan orangtua yang ramai, si anak dimarahi lagi.

Dari 2 hal di atas, sebelum memikirkan tentang pendekatan, anda harus benar-benar terlebih dahulu ”sungguh-sungguh menyadari” bahwa tidak ada masalah ”pilih kasih”, sebab jika anda masih mendapatkan masalah pilih kasih, sebenarnya anda hanya harus mulai menaikkan porsi perhatian pada anak yang kurang mendapat curahan kasih sayang anda. Jika semua anak anda mulai mendapat perhatian yang seimbang, maka segeralah suasana rumah anda berubah lebih indah.

Namun jika anda merasa bahwa tidak ada masalah ”pilih kasih”, maka sekarang anda perlu melihat keluarga anda secara keseluruhan dan memberikan pendekatan yang berbeda pada semua anggota keluarga anda. Ini bukan sesuatu hal yang tidak mungkin; justru sangat mungkin bila anda mulai fokus pada tujuan akhir yang positif.

Sebagai ilustrasi, jika anda mengendari mobil, anda akan memberikan perlakuan yang berbeda pada semua fungsi mekanik mobil, anda tidak mungkin menginjak rem, kopling, gas secara bersamaan, karena itu berarti kalau anda tidak merusak mobil anda, mobil anda juga tidak akan maju kemana-mana. Perlakuan anda terhadap rem, kopling, gas, persneling, setir itu semua berbeda; jika anda telah mahir, semuanya bisa anda lakukan secara otomatis. Mengapa anda mau repot-repot memikirkan dan bergantian menginjak rem, kopling dan gas, dsb-nya... Karena anda fokus pada hal untuk menjalankan mobil tersebut agar dapat mengantar anda ke suatu tempat.

Demikian juga dengan keluarga anda. Anak, suami atau istri, tidak bisa anda teriaki secara bersamaan dan anda berharap semuanya sama-sama mendengarkan anda. Ada yang akan mendengar, ada yang akan berteriak balik kepada anda, ada yang akan menangis, dan berbagai macam lain reaksi yang akan anda dapati... To be continued..........

DO IT NOW !

Banyak orang yang mempunyai idealisme terlalu besar untuk memulai sesuatu
yang diinginkannya. Ia berpikir yang tinggi-tinggi dan bicaranya pun
terkadang sulit dipahami, akibatnya menunda-nunda waktu untuk memulai.
Kesempatan-kesempat an kecil untuk memulai sesuatu dilewati begitu saja,
tanpa pernah berpikir bahwa mungkin di dalamnya ia memperoleh sesuatu yang
berharga.

Memulai sesuatu bukanlah barang mudah. Termasuk memulai sebuah pekerjaan.
Apalagi jika kita pernah menjalani pekerjaan lain sebelumnya. Memulai dari
nol merupakan sebuah langkah yang sangat berat. Walau pepatah bilang bahwa
orang yang sukses itu adalah orang yang selalu mampu bangkit ketika
terjatuh, namun dalam implementasi hal itu sangat sulit dan komplek.
jika seseorang itu sudah berpengalaman dan memiliki tekad dan keyakinan
baja untuk terus maju maka hal itu bisa kita buat sebagai momentum untuk
melakukan sesuatu atau merubah sesuatu.

Memulai sesuatu sama dengan melakukan sesuatu yang baru atau melakukan
perubahan ,ternyata berubah itu tidak mudah. benar kata orang, perubahan itu
sesuatu yang cenderung akan dihindari oleh kita, apalagi jika sebelumnya
dalam status quo kita cenderung untuk menjadi enak dan tidak disusahkan.
kita terlalu menikmati zona nyaman kita, dan pada saatnya kita harus
berpindah atau keluar dari zona nyaman, seketika kita akan cenderung untuk
menolak atau enggan, ataupun jika kita memang sudah keluar dari zona nyaman
itu, kita cenderung untuk menikmatikenyamanan yang kita miliki. kita semua
sesungguhnya memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan atau melakukan
sesuatu, dan itu dapat dimulai dengan langkah tanpa biaya: merubah cara
pandang. Kita semua mampu, tapi tidak semua mau.

Perubahan dan memulai sesuatu yang baru adalah hal yang tidak bisa dielakkan
lagi. Jika kita memiliki kemampuan untuk beradaptasi, maka kita tidak begitu
kesulitan membaca perubahan-perubahan yang sedang terjadi dan bagaimana
menyikapi
perubahan-perubahan itu dengan kreatif. Berani,kesediaan mengambil resiko
gagal. terkdang kita selalu menunda-nunda akan apa yang akan kita kerjakan,
malah hal itu lah yang membuat kita terkadang tidak berbuat apa-apa

Jika kita hidup hari ini ibaratkan sebuah buku, maka buku tersebut hanya
berisikan tiga lembar. Hari kemarin, hari ini dan hari esok. Betapa hebat
hari kemarin itu telah berlalu. Tidak ada satupun yang dapat kita lakukan
untuk mengubah sesuatu yang telah berlalu. Hari esok juga diluar jangkauan
kita. Jika kita ingin berhasil dalam hidup ini, kita harus menaruh perhatian
kita pada apa yang sedang terjadi hari ini, sekarang, Ungkapan yang
menggambarkan hari ini, sekarang, adalah modal dan sesuatu yang sangat
berharga.

Tidak ada apapun yang terjadi di luar hari ini atau sekarang. Tidak ada
sesuatu yang terjadi di hari kemarin atau hari esok. Semua terjadi di hari
ini, sekarang Pusatkan pikiran, tenaga, talenta pada hari ini. Badan kita
kadangkala berada pada hari ini, tetapi pikiran kita mengambang kemana-mana.
Jika kita hidup di hari kemarin atau esok, kita mengambil keputusan dan
tindakan yang diwarnai ketakutan. Takut akan apa yang telah terjadi atau
akan apa yang akan terjadi.Jangan melamun, lakukan sesuatu sekarang. Ingat
bahwa menunda-nunda, adalah kebiasaan yang dapat menghambat kita melakukan
sesuatu sekarang. Kita harus mendaftarkan semua tugas dan berilah peringkat
mana yang harus dikerjakan lebih dahulu, lalu pegang teguh jadwal itu
sebaik-baiknya. Untuk melakukan sesuatu sekarang, kita juga harus mengejar
tujuan, walaupun kita bosan, patah semangat atau perhatian kita teralihkan,
tetapi maju terus.

Sering kali orang sibuk dengan impian, Keingina dan ambisinya karena saking
terlenanya dan selalu berkata Akan masih ada waktu "nanti" jadi lebih baik
ditunda saja dulu. sebenarnya tidak ada gunanya untuk menunda hingga Nanti,
besok atau lusa, keputusannya memang ada di tangan anda tapi waktu yang kita
pilih juga menentukan. Tentunya perubahan yang akan kita lakukan Lakukan
sekarang!

Selasa, 10 Februari 2009

Ciri - ciri kepribadian anak yang sehat

Hingga saat ini, para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam
memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian
kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan
Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang
kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya,
akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap
lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah
organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah
penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri
sebagai "suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral
maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam
diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan
(norma) lingkungan.

Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas
sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya.
Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya,
misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif
dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa
teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori
Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung,
teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori
Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi
Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull,
Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu,
Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian,
yang di dalamnya mencakup :

1. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku,
konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.

2. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya
mereaksi terhadap rangsangan-rangsang an yang datang dari lingkungan.

3. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau
ambivalen

4. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap
rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah,
sedih, atau putus asa

5. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko
dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima
resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang
dihadapi.

6. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan
hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau
tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari
yang menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang tidak sehat.
Dalam hal ini, Elizabeth(Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri
kepribadian yang sehat dan tidak sehat, sebagai berikut :

============ ========= ========= ========= ========= ========= =========

Kepribadian yang sehat :

1. Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri
apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik,
pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.

2. Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi
atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau
menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu
sebagai sesuatu yang sempurna.

3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat
menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional,
tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex,
apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika
mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi
dengan sikap optimistik.

4. Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

5. Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan
bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan
diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.

6. Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat
menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau
konstruktif , tidak destruktif (merusak)

7. Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap
aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang
(rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai
tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan
dan keterampilan.

8. Berorientasi keluar (ekstrovert) ; bersifat respek, empati terhadap
orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah
lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan
menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap
orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban
orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.

9. Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial
dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

10. Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat
hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.

11. Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang
didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi) acceptance
(penerimaan) , dan affection (kasih sayang)

============ ========= ========= ========= ========= ========= =========

Kepribadian yang tidak sehat :

1. Mudah marah (tersinggung)

2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan

3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)

4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih
muda atau terhadap binatang

5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun
sudah diperingati atau dihukum

6. Kebiasaan berbohong

7. Hiperaktif

8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas

9. Senang mengkritik/ mencemooh orang lain

10. Sulit tidur

11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab

12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor
yang bersifat organis)

13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama

14. Pesimis dalam menghadapi kehidupan

15. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan

sumber : akhmadsudrajat