Ahlan Wa Sahlan




Assalamu'alaikum, sahabat. Silahkan melihat - lihat !! Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wassalam.

Jumat, 20 November 2009

Top 6 Keys to Being a Successful Teacher

By Melissa Kelly, About.com

The most successful teachers share some common characteristics. Here are the top six keys to being a successful teacher. Every teacher can benefit from focusing on these important qualities. Success in teaching, as in most areas of life, depends almost entirely on your attitude and your approach.

1. Sense of Humor
A sense of humor can help you become a successful teacher. Your sense of humor can relieve tense classroom situations before they become disruptions. A sense of humor will also make class more enjoyable for your students and possibly make students look forward to attending and paying attention. Most importantly, a sense of humor will allow you to see the joy in life and make you a happier person as you progress through this sometimes stressful career.

2. A Positive Attitutude
A positive attitude is a great asset in life. You will be thrown many curve balls in life and especially in the teaching profession. A positive attitude will help you cope with these in the best way. For example, you may find out the first day of school that you are teaching Algebra 2 instead of Algebra 1. This would not be an ideal situation, but a teacher with the right attitude would try to focus on getting through the first day without negatively impacting the students.

3. High Expectations
An effective teacher must have high expectations. You should strive to raise the bar for your students. If you expect less effort you will receive less effort. You should work on an attitude that says that you know students can achieve to your level of expectations, thereby giving them a sense of confidence too. This is not to say that you should create unrealistic expectations. However, your expectations will be one of the key factors in helping students learn and achieve.

4. Consistency
In order to create a positive learning environment your students should know what to expect from you each day. You need to be consistent. This will create a safe learning environment for the students and they will be more likely to succeed. It is amazing that students can adapt to teachers throughout the day that range from strict to easy. However, they will dislike an environment in which the rules are constantly changing.

5. Fairness
Many people confuse fairness and consistency. A consistent teacher is the same person from day to day. A fair teacher treats students equally in the same situation. For example, students complain of unfairness when teachers treat one gender or group of students differently. It would be terribly unfair to go easier on the football players in a class than on the cheerleaders. Students pick up on this so quickly, so be careful of being labelled unfair.

6. Flexibility
One of the tenets of teaching should be that everything is in a constant state of change. Interruptions and disruptions are the norm and very few days are 'typical'. Therefore, a flexible attitude is important not only for your stress level but also for your students who expect you to be in charge and take control of any situation.

Sabtu, 14 November 2009

Menangani Tiks pada Anak

Menurut M. Ninik Handayani, S.Psi, TIKS itu adalah........

Aduuuh... jari tanganku kenapa ya??? Ilustrasi: Aria/dok.Mombi

Tiks adalah gerakan tubuh yang sekonyong-konyong, berulang-ulang, di mana otot-otot bergerak tanpa tujuan, tanpa sengaja, impulsif, dan terus menerus. Lazimnya, setelah kedipan mata, diikuti gerakan muka, leher, dan bahu mengalami Tiks.

Ada tiks otot dan ada tiks verbal. Tiks otot adalah gerakan. Tiks otot meliputi kerutan dahi, juluran lidah, batuk, sentakan kepala, mulut. Sementara, tiks verbal berupa suara yang diulang-ulang, kadang-kadan berupa pengulangan frase, misalnya "Eh, tahu, nggak?"

Rentan terhadap Anak Laki-Laki
Tiks lebih sering terjadi dalam kondisi tertekan dan lebih banyak diderita anak laki-laki. Biasanya tiks dimulai pada usia 4-12 tahun, dan paling sering terjadi di usia 7-9 tahun.

Penyebabnya antara lain: ketegangan, karakter orang tua yang pencemas, reaksi terhadap trauma, konflik yang tidak terselesaikan, serta sebab-sebab fisik.

Menangani Tiks
Berikut beberapa tips yang disampaikan M. Ninik Handayani, S.Psi., untuk menangani tiks pada anak.

1. Bantulah anak untuk mengekspresikan perasaannya dan membangun rasa percaya diri. Anak memerlukan figur yang dapat dipercayainya untuk membicarakan semua perasaan dan fantasinya tanpa ia harus merasa malu atau takut.

2. Ketegangan di dalam keluarga, seperti pertengkaran, peraturan yang kaku, sebisa mungkin dihindari. Akan jauh lebih baik bila orangtua menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dan mengatakan bahwa segala sesuatu akan dapat diatasi.

3. Ketika anak baru menunjukkan gejala awal tiks, jangan mengomel ataupun membentak. Reaksi berlebihan terhadap tiks justru akan meningkatkan ketegangan anak, sehingga semakin membiasakan tiks tersebut. Sebaliknya, berikanlah rasa aman, dan bangunlah rasa percaya dirinya.

4. Berilah anak hadiah kecil untuk waktu-waktu yang dilaluinya tanpa tiks. Untuk menghindarkan anak merasa malu dan marah, bicarakan dengan bersikap santai. Orangtua tidak perlu menuntut anak untuk melakukan sesuatu pun atas tiks-nya.

5. Latihlah anak mengatasi kecemasan. Caranya dengan menunjukkan bagaimana otot-otot betul-betul rileks. Mula-mula mintalah anak menegangkan otot lalu mengendurkannya perlahan-lahan, begitu seterusnya sampai ia merasa lemas dan semakin lama anak mampu mempertahankan keadaan ini. Mintalah ia untuk membayangkan sesuatu yang menyenangkannya untuk memudahkan timbulnya perasaan tenang.

6. Latihlah anak untuk menyadari dan mencatat frekuensi terjadinya tiks. Orangtua perlu menunjukkannya setiap kali tiks terjadi. Biasanya tiks akan berkurang atau bahkan menghilang dengan sendirinya.

7. Tiks dapat dihilangkan dengan cara melatih ‘munculnya’ tiks dengan sengaja dan kemudian sengaja pula menghentikannya. Lakukan sampai anak merasa lelah dan menganggap ini sebagai permainan. Lakukan minimal 3x seminggu, selama ½ jam.

8. Anak dilatih melakukan respons yang menyaingi kebiasaan tiksnya. Respons saingan ini harus membuat anak lebih menyadari kebiasaannya sekaligus menghalangi kebiasaan tersebut (tiks tidak dapat terjadi bila respons saingan dilakukan), serta dapat dipertahankan untuk jangka waktu tertentu dan tidak mengganggu aktivitas normalnya. Misalnya, untuk tiks menyentakkan kepala, atau dagu ditekankan dalam-dalam ke dada.

9. Mintalah ia untuk mengamati dirinya sendiri di depan cermin dan sengaja melakukan gerakan tiks tersebut. Ajaklah anak membayangkan dirinya sendiri dalam berbagai situasi di mana ia terlibat di dalamnya tanpa melakukan tiks.

10. Ajari anak untuk meminta bantuan pada orang lain. Ini penting untuk mengingatkannya bila ia melakukan tiks. Kerabat dan teman-teman anak perlu membantunya dan memberi pujian atas usahanya serta betapa ia tampak lebih menyenangkan tanpa tiks. (Giana Lenggawati/Mombi)

Kamis, 05 November 2009

Montessori untuk Mandiri

Michelle Obama tengah menyaksikan anak-anak bermain di LAMB (Foto: Zimbio.com)

Di antara berbagai metode pengajaran sekolah usia dini, montessori terbilang populer. Metode belajar karya Maria Montessori ini bertujuan melatih anak untuk mandiri. Orangtua yang mempunyai anak usia sekolah mungkin pernah mendengar istilah montessori.

Maklum, saat ini telah banyak sekolah anak usia dini, terutama di perkotaan, yang menerapkan metode ini. Namun ketika ditanya, tak banyak orangtua yang mengetahui tentang apa sih sebenarnya montessori itu?

Menurut Koordinator Pengembangan Kurikulum "Twinkle Star", Lely Tobing, filosofi dari montessori adalah untuk melatih anak menjadi mandiri. Di samping membaca dan menulis, anak belajar segala aspek kehidupan, seperti minat, alam, dan science.

"Metode ini menekankan pada pembelajaran individu dengan tujuan melatih anak menjadi independen. Selain itu, harus ada ketertarikan yang spontan pada saat anak mengerjakan segala sesuatu. Mereka juga menyebut 'jam belajar' dengan 'jam bekerja', jadi istilahnya adalah working, bukan studying," papar wanita yang biasa disapa Lely ini.

Di luar negeri seperti Selandia Baru dan Singapura, sekolah full montessori biasanya memiliki montessori hour yaitu sekitar 3,5 jam. Satu jam awal merupakan peak hour (jam puncak), di mana anak secara maksimal menyerap segala sesuatu yang dipelajarinya.

"Untuk metode belajar sebenarnya dikategorikan active learning karena anak belajar sesuai dengan kemampuan dan minat si anak sendiri. Biasanya guru akan membuatkan perencanaan yang bersifat individual untuk setiap anak. Jadi walaupun anak berada pada kelas yang sama, aktivitasnya bisa berbeda-beda," papar lulusan London Montessori Center ini.

Ciri lain dari sekolah montessori adalah banyaknya penggunaan alat permainan dan educational game yang terbagi dalam lima area montessori (biasanya disebut corner), yaitu area practical life untuk pembelajaran aktivitas sehari-hari, area sensorial, bahasa, matematika, dan budaya. Setiap alat punya tujuan langsung dan tidak langsung, tapi bisa distimulasi dengan alat-alat itu.

Pengajaran dilakukan melalui tahapan pengenalan (introduction), progres, hingga si anak benar-benar mampu (master). Itulah sebenarnya yang disebut real montessori report, yaitu berdasarkan bagaimana si anak mampu menguasai alat-alat bermain yang ada dalam kelas montessori.

Keunikan montessori, rapornya tidak menggunakan sistem ranking, seperti angka atau nilai A, B, dan C. Selain itu, anak-anak tidak dipicu kompetisinya, karena tidak ada nilai atau ranking. Sekolah yang murni montessori juga tidak mengenal sistem hukuman dan imbalan (reward and punishment).

Jadi, anak-anak dikembangkan sesuai dengan kemampuannya sendiri. Kalau si anak belum mampu, mereka akan dilatih terus dalam hal itu sampai benar-benar mampu.

"Inti pelajaran montessori adalah menjadikan anak mandiri. Bukan hanya dalam melakukan kegiatan sehari-hari, melainkan juga sebagai independent learner, anak yang mandiri dalam belajar," tandasnya.

Belajar Itu Harus Menyenangkan

Setiap individu itu berbeda, baik dalam hal minat maupun kemampuannya, dan perbedaan ini sangat dihargai di sekolah montessori. Metode montessori dalam pendidikan adalah sebuah model yang melayani kebutuhan anak-anak dari semua level, baik dalam hal kemampuan mental maupun fisik di mana mereka hidup dan belajar secara alamiah.

Pelaksanaan metode montessori selalu up-to-date dan dinamis. Observasi dan pembelajaran berlangsung secara kontinu dan spesifik untuk masing-masing anak. Untuk mengetahui karakter, kemampuan, dan minat anak, maka faktor penjiwaan sangat penting untuk dipahami dan diterapkan oleh seorang pengajar.

Pengajar di sekolah montessori harus sangat kreatif dalam menyampaikan konsep materi. Ini berkaitan dengan fungsinya sebagai pemandu yang harus mengetahui perkembangan masing-masing anak.

Montessori memiliki 3 dasar, yaitu observation (yang dilakukan melalui penjiwaan), private environment (5 area montessori), dan freedom to choose (kebebasan anak untuk memilih permainan).

Dalam metode montessori, pengetahuan tidak diajarkan satu arah, melainkan dengan respek dan konkret material sehingga anak merasakan itu seperti bukan pelajaran, melainkan permainan yang sebenarnya bersifat mendidik.(Koran SI/Koran SI/nsa)